15 August 2009

Namaku Jana

Namaku Jana, Renjana. Nama yang indah menurutku, artinya rembulan. Orang tuaku memberiku nama itu supaya aku bisa jadi seperti rembulan, yang menyinari gelap malam. Usiaku menginjak 30 tahun. Statusku? Jangan Tanya tentang statusku. Mungkin itu hanya akan membuatku tersinggung atau merasa merana. Kenapa begitu? Kau tentu tahu, statusku single, lajang. Ya, aku masih lajang, tanpa kekasih bahkan. Entah mengapa. Padahal sebagai perempuan, secara fisik aku lumayan manis. Banyak cowok yang menggodaku kalau di jalan. Otakku? Oh…tak ada yang meragukanku tentang itu. Aku lulusan universitas ternama di Indonesia. Pekerjaanku lumayan bagus, dengan penghasilan yang cukup untuk membiayai hidupku sendiri dan bahkan untuk membantu orang tuaku. Mentalku? Aku cukup sehat, tak pernah menderita stress atau depresi hingga mau bunuh diri misalnya. Oh… mungkin kau ingin bertanya tentang pergaulanku? Aku cukup pandai bergaul. Temanku lumayan banyak. Ada teman kantor, teman masa kuliah, teman masa sma atau teman dari sekitar lingkungan rumahku, bahkan teman kakak dan adikku juga jadi temanku. Menurutku aku tidak terlalu kuper. Apalagi pertanyaanmu? Kau pasti bingung akan bertanya apalagi tentang penyebab aku yang masih lajang tanpa kekasih hingga usia 30 tahun ini.

Ada satu rahasia yang tak banyak orang tahu, mungkin hanya beberapa sahabat terdekatku. Aku tak pernah pacaran sekalipun. Ya, sekalipun. Sejak lahir ke dunia ini aku belum pernah pacaran. Jatuh cinta? Oh, kau tanya tentang jatuh cinta ya. Tentu saja aku pernah jatuh cinta. Kurasa setiap perempuan atau laki-laki dewasa pernah jatuh cinta. Tapi khusus untukku aku hanya pernah jatuh cinta 2 kali, karena aku bukan tipe yang mudah jatuh cinta. Dan keduanya masih terasa sampai saat ini. Yang pertama saat aku sma, kelas 2 sma kurasa. Dengan teman satu angkatanku. Cinta bertepuk sebelah tangan. Dia anak yang baik, pintar dan sopan. Sayangnya aku tak cukup akrab dengan dia. Mungkin aku tak pandai memberikan sinyal tentang rasa sukaku. Aku bukan tipe cewek yang genit. Tapi jauh di dasar hatiku, aku merasa kalau dia juga suka kepadaku. Sayangnya, aku pernah mendengar kabar kalau dia sudah menikah. Pupuslah sudah harapanku. Yang kedua saat aku kuliah. Seniorku, beda jurusan. Yang ini pun sudah menikah, bahkan dengan orang yang kukenal. Sedih bukan kisahku.

Pernah juga aku akan dijodohkan dengan teman kakakku. Seorang yang sudah cukup mapan dalam pekerjaan. Sayangnya setelah bertemu sekali dengannya, aku merasa kurang cocok, tidak nyambung dalam obrolan. Mungkin dia yang terlalu serius atau aku yang terlalu santai. Kau mau tanya apa lagi? Atau mungkin kau mau menjodohkanku dengan temanmu atau saudaramu? Tak apa, aku tak menutup kemungkinan untuk dijodohkan. Tapi asal tahu saja, memilih suami bagi aku bukan sekedar memilih orang yang baik atau orang yang mapan. Bagiku ini juga soal perasaan dan hati. Meski dijodohkan, aku harus merasa ada klik di hatiku. Rasanya aku sudah bosan dengan omongan keluarga besarku. Setiap ada acara keluarga, selalu ada saja yang bertanya tentang “kapan kawin?” (seperti iklan ya) atau “udah ada calon belum?” dan sebagainya, dan lain-lain. Terutama dari kalangan orang tua, seperti budhe dan pakdhe. Maklum, aku orang jawa, jadi rasanya hal ini juga jadi masalah keluarga besar. Kasihan juga mamaku, pasti dia yang paling kepikiran tentang masalah aku dan jodohku ini. Kadang dia bertanya padaku, apa kira-kira aku sudah ada pandangan atau calon. Dia tak percaya kalau aku tak punya kandidat satu orang pun. Mungkin karena dia melihat lingkungan pergaulanku yang cukup banyak.

Sebenarnya aku sih tak terlalu memikirkannya, kalau tak didesak dari sana sini. Di kota besar seperti Jakarta ini, rasanya sudah wajar seorang wanita menikah di usia lebih dari 30 tahun. Menikmati hidup, karir dan waktu yang dimilikinya. Banyak juga temanku yang belum menikah. Mungkin mereka merasakan hal yang sama denganku juga ya…hanya saja, bedanya, mereka sudah punya kekasih, atau paling tidak, pernah pacaran, tak seperti aku ini, yang belum pernah sekalipun.
Jadi bagaimana solusinya ya? Apa kau punya solusi? Kau yang mulai bertanya, sebaiknya kau punya solusi tentang hal ini.

Oh iya, salah satu budheku berusaha menjodohkanku dengan anak temannya. Aku belum ketemu dia sih. Rencananya minggu depan aku akan bertemu dengannya. Tentunya dengan ditemani budheku. Seperti apa ya orangnya. Pasti orang baik dan pintar ya. Aku rasa yang ini juga tak akan berhasil. Tapi tak apalah. Tak ada salahnya menyenangkan hati orang tua. Dengan begini, mama dan papa, juga pasti akan berpikir kalau aku ada usaha juga, nggak terlalu cuek. Dulu juga papa pernah berusaha menjodohkanku dengan anak temannya, tapi karena belum terlalu banyak desakan dari keluarga dan dari diri sendiri, aku menolak untuk dijodohkan, rasanya lebih baik cari sendiri. Tapi sekarang, kupikir-pikir tak ada salahnya dijodohkan. Toh jaman kakek nenekku pun mereka dijodohkan dan langgeng sampai sekarang, Selain itu aku punya alasan lain, adikku sudah punya calon, dan rasanya dia akan menikah dalam waktu setahun dua tahun ini. Aku tak ingin dia mendahuluiku. Kalau aku sudah punya calon, tentu rencana menikahnya pun akan mundur, disesuaikan dengan rencanaku. Tapi kalau terpaksa aku tak dapat-dapat jodoh, ya sudah, aku menyerah saja. Aku juga tak mau jadi penghalang orang yang mau menikah. Bagaimana? Apa kau puas dengan jawabanku?

Apa katamu? Mencoba ikut biro jodoh? Kau tahu juga ya tentang itu. Ya, pernah juga sih ada obrolan tentang biro jodoh di antara teman-temanku. Biro jodoh jaman sekarang kan keren-keren dan bermacam-macam, ada juga temanku yang ikut. Selintas aku juga pernah memikirkannya. Tapi rasanya aku belum terlalu berani untuk itu. Rasanya takut. Gimana kalau nanti ternyata ketemu dengan penipu atau playboy atau orang yang mau berbuat jahat padaku. Tidak ada yang menjamin kan. Meskipun dijodohkan oleh saudara pun, aku tak tahu seperti apa orangnya, tapi paling tidak ada yang menjaminnya, saudaraku atau kakakku misalnya. Ini rahasia ya, sebenarnya aku juga berencana untuk ikut biro jodoh, tapi nanti, saat usiaku mendekati 40 dan belum dapat jodoh juga. Terpaksa deh.

Anak? Apa maksudmu? Oh, tanggapanku tentang anak-anak? Mereka lucu, aku juga sayang banget dengan 2 orang keponakanku, anak kakakku. Manis sih, tapi sepertinya kok repot ya mengurusnya. Temanku yang sudah punya anak juga suka bercerita tentang anaknya yang masih batita, seperti keajaiban saja ya. Meski repot tapi rasanya menakjubkan. Itu kata mereka yang sudah punya anak. Aku sih hanya mendengarkan saja sambil membayangkan 2 ponakanku yang mungil itu. Tapi sebenarnya aku agak sebel juga kalau saat ngumpul dengan teman, ada seseorang yang bercerita terus tentang anaknya. Mungkin karena aku belum punya anak ya. Aku juga sempat berpikir, kalau aku sudah menikah, lalu punya anak, apa aku akan tetap terus bekerja atau akan berhenti dan fokus mengurus anak? Kalau terus bekerja, berarti aku mesti meninggalkan anakku dengan si mbak di rumah dong. Gimana kalau ternyata dia suka nonton dangdut atau nonton sinetron atau ngerumpi dengan pembantu lain? Wah, ini pengaruh buruk untuk anakku, dia mungkin tak akan terurus. Atau gimana kalau misalnya si mbak suka membentak-bentak anakku, seperti pembantu depan rumahku, ini lebih gawat. Anak kecil kan nggak bisa melawan, bisa stress nanti anakku. Mungkin lebih baik dititipkan di tempat penitipan anak. Tapi, itu kan belum terjadi kenapa mesti kupikir serius. Gara-gara kau sih, bertanya tentang anak segala. Kekasih saja tak punya.


Belum capek ya bertanya padaku? Rasanya kau selalu punya pertanyaan. Apa? Cowok? Wah, kau ini. Cowok yang naksir aku? Pernah ada sih, beberapa orang. Bahkan ada yang sudah menikah, tetap kekeh mengejar aku. Kalau sama yang sudah menikah sih, nggak deh. Aku kan paling benci sama cowok selingkuh dan poligami. Aku sangat mengagungkan kesetiaan. Kalau memang sudah tak suka, ya katakan saja, lalu cerai deh. Kalau cowok yang lain, macam-macam juga. Ada yang teman sekantorku, ada yang teman kakakku, ada yang teman kuliahku dulu, ada juga anak temen papaku. Tapi rasanya tak ada yang cocok menurutku. Aku bukan orang yang alergi cowok, buktinya aku juga punya beberapa teman dekat cowok kok. Perfeksionis katamu? Maksudmu aku mau cowok yang sempurna? Kadang kupikir agak begitu sih. Misalnya di si A, aku menemukan kekurangan, aku langsung menjauh secara teratur, lalu waktu dekat sama si B, aku menemukan kekurangannya, aku juga mulai menjauh. Apa itu namanya perfeksionis? Oh gitu ya… pernah juga ada temanku yang bilang, kita nggak mungkin bisa menemukan satu manusia sempurna tanpa kekurangan, jadi kalau memang ada kekurangannya terima saja, toh diri kita sendiri juga tidak sempurna. Kadang kita harus kompromi juga dengan keadaan. Tapi kurasa bukan masalah itu, aku merasa belum sreg aja dengan beberapa cowok yang mendekatiku itu. Seperti yang kubilang tadi, harus ada klik di hatiku, baru aku akan pacaran. Ada juga temanku yang bilang, coba aja dulu, nanti juga lama-lama bisa jadi suka kok. Meski awalnya Cuma 10% rasa sukanya, lama-lama bisa jadi 75% bahkan lebih. Kata dia sih, apa salahnya mencoba dulu. Benar juga sih kata dia. tapi kalau menurutku, kalau memang tidak benar-benar suka, ngapain pacaran. Itu kan mengorbankan waktu, perasaan, dan biaya juga. Itu namanya perfeksionis ya. Mungkin aku perlu meninjau ulang cara pandangku tentang ini ya. Bolehlah nanti kucoba tips dari temanku itu.

Kau masih ingin bertanya ya? Tentang apa lagi? Orientasi pacaran? Maksudmu? Tentu saja aku ingin pacaran yang serius. Yang arahnya adalah pernikahan. Bukan hanya sekedar pacaran seperti ABG. Rasanya sudah tak relevan lagi untuk usiaku ini. Lagipula, sayang juga kalau pacaran tak ada tujuannya. Menjadi istri? Ya, kalau sudah punya calon, mau tak mau aku mesti siap untuk menikah dan menjadi istri, juga menjadi ibu. Tapi saat ini kan aku belum punya calon. Kurasa lebih baik kau carikan calon suami untukku, daripada terus bertanya tentang itu. Lebih bermanfaat bagiku bukan? Tapi, lumayan juga, aku jadi bisa curhat padamu, tentang pikiran dan perasaanku mengenai masalah jodoh ini. Jadi sedikit merasa lega.

Rasanya kita sudah mengobrol banyak ya. Kau jadi tahu bermacam-macam tentang hidupku. Tapi kau ini siapa ya? Kenapa kita tiba-tiba mengobrol? Aku bukan tipe yang mudah membuka diri lho. Tapi kenapa aku menjawab saja semua pertanyaanmu? Sebentar dulu, jangan pergi dulu. Rasanya aku mengenalmu? Hemm…coba kuingat-ingat ya… kau ini seseorang dari masa laluku ya… Rasanya aku ingat wajah itu. Ya, benar. Wajah manismu itu. Kau si cool itu ya? Ah, siapa namamu ya? Aku ingat wajahmu itu, tapi siapa namamu ya, maaf aku lupa. Siapa? Oh iya, Galang. Ya benar. Kenapa aku bisa lupa ya. Kita pernah sekelas waktu smp ya. Kau kemana saja? Kenapa tiba-tiba muncul dan mengobrol tentang hidupku? Masih di Jakarta ya ternyata. Aku pikir kau pindah ke luar kota. Waktu reuni 2 tahun lalu, rasanya aku tak melihatmu. Kau tak datang ya? Kenapa? Tak berani datang? Memangnya kau punya musuh sampai tak berani datang? Ternyata wajahmu tak jauh berubah ya. Wah, sekarang giliranku untuk bertanya tentangmu dong.

Kau kerja dimana? Jadi jurnalis ya. Senang juga ya, bisa meliput berbagai hal. Lalu, kau tinggal dimana? Masih di rumahmu yang dulu? Tapi rumahmu itu dimana ya? Maaf ya, kalau aku nggak tahu apa-apa tentangmu. Tapi aku masih merasa aneh, kenapa aku merasa dekat denganmu ya, bahkan bercerita berbagai hal tentang hidupku. Oh iya, anakmu berapa? Eh? Kok belum punya anak sih, masih ingin berdua saja ya. Apa? Belum menikah juga ya? Sama dong dengan aku. Duh, kau ini pendek-pendek saja ya jawabnya. Tadi saat aku bercerita pun komentarmu singkat saja. Memang begitu ya tipikalmu. Baiklah.
Apalagi ya yang ingin kutanyakan. Mungkin sebaiknya aku diam saja ya. Kenapa kau menemuiku? Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan padaku ya? Baiklah, akan kutunggu saja.

Apa? Kau memanggilku? Ya, aku dengar kok. Kenapa? Tidak, aku sedang free kok, tak ada kesibukan hari ini. Kau ingin mengajakku keluar ya. Oh, bukan hari ini. Bolehlah, kapan-kapan kita jalan bareng. Kau kelihatan ragu. Apa yang ingin kau katakan sebenarnya? Oh, tentang reuni waktu itu ya. Aku juga tak yakin kalau kau tak datang,mungkin aku tak terlalu memperhatikan. Hanya saja, rasanya aku tak melihatmu. Ternyata kau benar tak datang ya. Kenapa tak ada keberanian? Tak berani bertemu denganku? Yang benar saja. Memangnya kita ada masalah? Aku rasa kita tak pernah bertengkar atau berselisih paham. Apa?? Kau suka padaku sejak smp? Waktu reuni tak berani bertemu aku, karena belum sanggup mengatakannya padaku? Wow… aku kaget. Kau sangat mencintaiku ya. Lama sekali kau pendam cinta itu. Yang benar? Bukan dusta kan? Masa sih aku cinta pertamamu. Baiklah. Aku percaya. Aku bahagia, ternyata ada orang yang begitu mencintaiku. Kau khusus datang kemari untuk mengatakan itu ya? Kenapa kau malah banyak bertanya padaku? Rupanya kau ingin tahu tentang hidupku ya. Hemm, entah kenapa, aku bisa cocok ngobrol denganmu, dan langsung merasa dekat denganmu. Mungkin ada reaksi kimia yang berperan antara aku dan kamu.

Kau meminta jawabanku? Duh…kalau saat ini aku tentu masih belum bisa menjawab. Apa? Harus sekarang? Kenapa? Toh kau telah menunggu sekian lama dan memendam rasa cintamu itu. Tak ada salahnya kalau kau menunggu jawabanku besok atau lusa misalnya. Baiklah. Akan kupikirkan pernyataan cintamu itu. Mungkin ini sudah saatnya bagiku untuk menerapkan tips dari temanku itu. Tak ada salahnya mencoba kan. Mungkin aku harus kompromi dengan keadaan. Tapi, tolong beri aku waktu dulu, aku akan memikirkannya. Karena aku agak merasa cocok denganmu. Terimakasih kau sudah mau mendengar kisahku. Besok atau lusa kau akan kutelepon untuk memberi jawaban. Keluar? Oh, boleh saja, kau boleh menjemputku di kantor, lalu kita pergi ke suatu tempat. Betul juga. Kurasa lebih baik kusampaikan jawabanku secara langsung padamu. Apapun jawabanku, pasti kau sudah siap kan? -

2 comments:

waktuhujan said...

Like it!
Jana reminds me of someone, hehehehehe. Mgk lain kali Jana dan aku bs hang out bareng, kita ngobrol, soalnya kita punya byk kesamaan, lho.
Apa? Apa aku jg lajang? Ah, nanti kuceritakan kalau kita arisan atau nyalon bareng.
Good luck with Galang, Jana.
utk mnjalani jalan yg blm pernah kamu lalui sebelumnya pasti butuh keberanian. Aku yakin kamu punya itu. Kabari aku kalau kamu akhirnya dapatkan pacar pertamamu, ya.
Dariku...

scorvita said...

hihihiy.... kayak ngomong sendiri ya si Jana... :D